Bunuh atau Dibunuh: Ketika Insting Bertahan Menjadi Alasan untuk Membunuh – Bunuh atau Dibunuh: Ketika Insting Bertahan Menjadi Alasan untuk Membunuh Di sebuah kota yang tampak biasa, hidup seorang pria muda bernama Arga. Ia bukan kriminal. Ia bukan pembunuh. Ia hanyalah seorang pekerja lepas di bidang desain grafis, tinggal di apartemen kecil yang sunyi. Namun hidupnya berubah dalam semalam, ketika ia menerima sebuah paket tak dikenal yang berisi foto dirinya sedang tidur—diambil dari jendela kamarnya.
Bunuh atau dibunuh
Awalnya Arga mengira ini hanya lelucon. Namun ketika malam berikutnya ia kembali mendapat foto lain—kali ini dari dalam ruang tamunya—instingnya mulai berteriak gacha99. Sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Ia tidak pernah merasa diawasi sebelumnya. Tapi sekarang, setiap sudut kamarnya tampak penuh mata.
Terjebak dalam Permainan Psikologis
Dalam hitungan hari, hidup Arga berubah menjadi neraka paranoid. Ponselnya mulai mendapat pesan misterius dari nomor tak dikenal. Semua pesan sama: “Bunuh atau dibunuh.” Ia mencoba melapor ke polisi, tapi tak ada bukti nyata yang cukup untuk ditindaklanjuti. Kamera pengintai yang ia pasang pun tidak merekam siapa pun.
Baca juga : Misteri Pembunuhan Notaris Lansia di Bekasi: Fakta Tragis di Balik Sungai Citarum
Lalu, datanglah sebuah “petunjuk.” Sebuah amplop berisi informasi tentang seorang pria asing yang tinggal beberapa blok dari apartemen Arga. Di dalamnya, foto pria itu dan catatan tentang kebiasaannya—waktu pulang, rute kerja, dan tempat biasa ia makan. Di bagian bawah catatan itu tertulis lagi kalimat yang sama: “Jika kamu tidak melakukannya, dia akan melakukannya duluan.”
Arga kini berada di persimpangan berbahaya antara akal sehat dan naluri bertahan hidup. Apakah ini nyata? Atau hanya manipulasi seorang psikopat? Apakah pria asing itu benar-benar berbahaya? Atau ia hanya korban lain seperti dirinya?
Bunuh… Demi Bertahan?
Perlahan, tekanan mental mulai memecah kewarasan Arga. Ia mulai mengikuti pria asing itu, mengawasi seperti yang ia diawasi. Ia tidak ingin membunuh. Tapi rasa takut, rasa terancam, dan bisikan “bunuh atau dibunuh” di kepalanya membuatnya terus maju. Ia bahkan mulai merakit rencana: tempat, waktu, senjata.
Satu sisi dirinya menolak keras untuk membunuh siapa pun. Tapi sisi lainnya—yang digerakkan oleh rasa takut—mulai meyakini bahwa membunuh adalah satu-satunya cara bertahan hidup. Dalam pikirannya, ini bukan soal moral. Ini soal hidup atau mati.
Puncak Ketegangan: Siapa yang Menarik Pelatuknya?
Ketika malam eksekusi tiba, Arga menunggu pria asing itu di gang belakang dekat rumahnya. Tangan gemetar memegang pisau kecil, keringat dingin membasahi pelipis. Namun saat pria itu muncul dan Arga bersiap menyerang, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Pria itu menoleh, dan bertanya pelan, “Kamu juga dapat pesan itu?”
Keduanya saling mematung. Realitas pun pecah. Mereka berdua adalah korban dari permainan kejam seseorang. Seseorang yang entah siapa, entah dari mana, dan entah apa tujuannya—telah memanipulasi mereka untuk saling membunuh.
Penutup: Saat Ketakutan Menjadi Senjata
“Bunuh atau Dibunuh” bukan hanya kisah kriminal biasa. Ini potret gelap bagaimana ketakutan bisa dikendalikan, dimanipulasi, dan dijadikan senjata. Di era digital dan pengawasan tanpa batas, siapa pun bisa jadi target. Dan lebih menakutkan lagi—siapa pun bisa dijadikan pelaku.
Arga dan pria itu memilih untuk tidak saling membunuh. Mereka melaporkan kejadian ini ke pihak berwajib dan membentuk forum untuk mencari tahu siapa dalang di balik teror tersebut. Namun kasusnya belum selesai. Hingga kini, “si pengirim pesan” belum pernah ditemukan. Tapi mereka percaya, permainan ini belum berakhir. Karena di luar sana, mungkin ada korban lain yang sedang memegang pisau… dan hanya diberi dua pilihan: bunuh, atau dibunuh.