Tragedi di Balik Topeng: Skenario Keji Suami Habisi Nyawa Istri Terbongkar

Tragedi di Balik Topeng: Skenario Keji Suami Habisi Nyawa Istri Terbongkar – Sebuah peristiwa memilukan mengguncang warga Kota Serang, Banten, ketika seorang pria bernama Wadison Pasaribu (32) tega menghabisi nyawa istrinya sendiri, Petry Sihombing (33), di kediaman mereka di Perumahan Puri Anggrek, Kecamatan Walantaka. Kasus ini menjadi sorotan publik setelah terungkap bahwa pelaku menyusun skenario palsu seolah-olah mereka menjadi korban perampokan. Namun, kebohongan itu akhirnya terbongkar oleh pengakuan anak korban dan penyelidikan intensif pihak kepolisian.

Awal Mula Tragedi: Rumah Tangga yang Retak

Wadison dan Petry dikenal sebagai pasangan yang cukup tertutup oleh lingkungan sekitar. Namun, di balik kehidupan rumah tangga mereka yang tampak tenang, ternyata tersimpan konflik yang mendalam. Berdasarkan keterangan dari pihak kepolisian, Wadison telah menjalin hubungan gelap dengan seorang wanita berinisial R sejak tahun 2023. Hubungan terlarang ini menjadi pemicu utama keretakan rumah tangga mereka.

Pelaku diketahui ingin menikahi selingkuhannya, namun khawatir kehilangan hak asuh atas dua anaknya jika memilih jalur perceraian. Kekhawatiran inilah yang mendorongnya menyusun rencana keji untuk menghabisi nyawa istrinya.

Rencana Pembunuhan yang Disusun Matang

Menurut Kapolresta Serang Kota, Kombes Pol Yudha Satria, Wadison telah merencanakan pembunuhan sejak masih berada di Bayah, Kabupaten Lebak. Ia bahkan membawa kabel ties dari tempat kerjanya sebagai alat untuk menjerat istrinya. Rencana tersebut dijalankan pada malam hari, saat anak-anak mereka yang masih berusia 7 dan 5 tahun sedang tertidur di kamar sebelah.

Sebelum kejadian, pelaku dan korban sempat berhubungan suami istri. Setelah itu, korban meminta dipesankan makanan karena merasa lapar. Namun, permintaan itu ditolak oleh pelaku. Terjadi adu mulut yang memuncak ketika korban menyebut pelaku sebagai “mokondo” — istilah yang dianggap menyakitkan oleh pelaku. Ucapan tersebut memicu kemarahan Wadison hingga ia mencekik leher istrinya dengan tangan kosong.

Korban sempat melawan, namun pelaku kemudian membekap wajahnya dengan kelambu dan menjerat lehernya menggunakan tali tambang yang terpasang di kamar. Setelah memastikan istrinya tak bernyawa, pelaku menyusun skenario palsu agar tampak seperti korban perampokan.

Skenario Palsu: Karung, Luka, dan Air Mata Buaya

Untuk mengelabui pihak berwajib dan masyarakat, Wadison mengikat tangan korban dan menempatkannya dalam posisi tengkurap di kamar tidur. Ia kemudian melukai dirinya sendiri dan masuk ke dalam karung di dapur rumah, seolah-olah menjadi korban perampokan yang disekap.

Keesokan harinya, anak korban yang terbangun dan melihat kondisi rumah berantakan segera keluar rumah dan meminta pertolongan tetangga. Salah satu warga, JA, masuk ke dalam rumah dan menemukan korban dalam kondisi mengenaskan, sementara Wadison tergeletak di dalam karung.

Pelaku bahkan sempat menangis histeris di hadapan jenazah istrinya, memeluk pakaian korban, dan berpura-pura berduka. Namun, sandiwara itu tidak berlangsung lama.

Pengakuan Anak Jadi Titik Balik Pengungkapan

Kebohongan Wadison mulai terkuak setelah anak pertamanya memberikan keterangan kepada polisi. Anak tersebut mengaku bahwa ayahnya sendiri yang menyuruhnya keluar rumah untuk meminta pertolongan. Pernyataan polos itu menjadi titik balik dalam penyelidikan.

Pihak keluarga yang mencium kejanggalan dalam kronologi kejadian kemudian menginterogasi Wadison secara internal. Setelah didesak, pelaku akhirnya mengakui perbuatannya. Ia pun diserahkan ke pihak kepolisian untuk diproses secara hukum.

Motif Pembunuhan: Cinta Gelap dan Ambisi Hak Asuh

Motif utama dari pembunuhan ini adalah keinginan pelaku untuk menikahi selingkuhannya tanpa kehilangan hak asuh anak. Ia merasa bahwa perceraian akan membuatnya kehilangan kendali atas anak-anaknya. Oleh karena itu, ia memilih jalan pintas yang keji dengan menghilangkan nyawa istrinya.

Selain itu, pelaku juga merasa sakit hati karena sering direndahkan oleh korban. Ucapan-ucapan yang dianggap menyakitkan menjadi pemicu emosional yang mempercepat eksekusi rencana pembunuhan.

Reaksi Masyarakat dan Keluarga

Warga sekitar mengaku terkejut dan tidak menyangka bahwa Wadison mampu melakukan tindakan sekejam itu. Selama ini, pasangan tersebut dikenal cukup tertutup namun tidak pernah menunjukkan tanda-tanda kekerasan.

Keluarga besar korban merasa terpukul dan kecewa. Mereka menyayangkan bahwa konflik rumah tangga yang seharusnya bisa diselesaikan secara dewasa justru berujung pada tragedi berdarah.

Proses Hukum dan Ancaman Hukuman

Wadison kini telah ditahan dan dijerat dengan pasal pembunuhan berencana. Ia terancam hukuman maksimal penjara seumur hidup atau bahkan hukuman mati. Pihak kepolisian menegaskan bahwa proses hukum akan dilakukan secara transparan dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dampak Psikologis terhadap Anak

Dua anak korban kini menjadi yatim piatu secara sosial. Mereka tidak hanya kehilangan ibu, tetapi juga harus menerima kenyataan bahwa ayah mereka adalah pelaku pembunuhan. Pendampingan psikologis sangat dibutuhkan untuk membantu mereka pulih dari trauma dan membangun kembali masa depan yang lebih baik.

Kesimpulan: Tragedi yang Menjadi Pelajaran

Kasus ini menjadi pengingat bahwa konflik rumah tangga yang tidak diselesaikan dengan bijak dapat berujung pada kehancuran. Perselingkuhan, emosi yang tidak terkendali, dan ambisi pribadi bisa menjadi kombinasi mematikan jika tidak diatasi dengan komunikasi dan kesadaran hukum.

Masyarakat diimbau untuk lebih peka terhadap tanda-tanda kekerasan dalam rumah tangga dan tidak ragu melaporkan jika melihat hal mencurigakan. Karena di balik dinding rumah yang tampak tenang, bisa saja tersimpan tragedi yang menunggu untuk meledak.